Profil
Kota Banda Aceh
Sejarah

Secara historis, Pelabuhan Sabang pertama sekali dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1881 dengan kegiatan utamanya pengisian air dan batubara ke kapal yang disebut "Kolen Station". Pelabuhan ini dikelola oleh Firma De Lange yang diberi kewenangan untuk membangun berbagai fasilitas pelabuhan pada tahun 1887. Operasional pelabuhan dilaksanakan oleh Maatschaapij Zeehaven en Kolen Station, yang kemudian dikenal dengan nama Sabang Maatsscappij tahun 1895. Pada era zaman Belanda, Pelabuhan Sabang telah berperan sangat penting sebagai pelabuhan alam untuk pelayaran internasional terutama dalam mendukung perdagangan komoditi hasil alam Aceh yang diekspor ke negara-negara Eropa.Kejayaan VrijHaven Sabang ini berakhir pada saat Perang Dunia ke-2 dimana Jepang menguasai Asia Timur Raya tahun 1942 dan mengalami kehancuran fisik sehingga Sabang sebagai pelabuhan bebas ditutup. Tahun 1950 pemerintah menjadikan Sabang sebagai Basis Pertahanan Maritim Republik Indonesia dan sebagai Pelabuhan Bebas dengan Penetapan Presiden No. 10 Tahun 1963 hingga Kotapraja Sabang pun dibentuk dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1965. Tahun 1970 status Free Port Sabang ditingkatkan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1970 menjadi Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk masa 30 tahun. Namun baru berjalan 15 tahun, Free Port Sabang kembali ditutup yang ke dua kalinya tahun 1985 sementara pemerintah pun membuka Bounded Zone Batam. Sejak itu kehidupan ekonomi Sabang kembali stagnan dan sepi layaknya sebuah kota terpencil dimanapun di dunia. Ribuan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di pelabuhan menjadi miskin, pengangguran dan akhirnya melakukan migrasi besar-besaran ke wilayah mainland di daratan Aceh. Pertumbuhan ekonomi di Aceh pun merosot tajam secara keseluruhan.

Posisi Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas mulai diperhitungkan kembali tahun 1993, ditandai dengan dibentuknya Kerjasama Ekonomi Regional Growth Triangle Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT), dilanjutkan dengan kegiatan Jambore Iptek BPPT tahun 1997, dan pada tahun 1998 kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang diresmikan oleh Presiden BJ. Habibie bersama KAPET lainnya dengan Keppres No. 171 tanggal 26 September 1998.

Status Sabang kembali ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di masa pemerintahan presiden K.H. Abdurrahman Wahid melalui mandat hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 tahun 2000. Kemudian dalam sidang paripurna DPR RI tanggal 20 Nopember 2000 penetapan statusnya secara hukum diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000. Keputusan ini dilakukan pemerintah pusat agar Kawasan Sabang di ujung barat dapat dijadikan sebagai Pusat Pertumbuhan Baru (New Growth Centre).

Kawasan Sabang itu terdiri atas Kota Sabang (Pulau Weh, Pulau Klah, Pulau Rubiah, Pulau Seulako dan Pulau Rondo) dan Kecamatan Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar (Pulau Breuh, Pulau Nasi, dan Pulau Teunom) dengan luas wilayah 394 kilometer kubik. Berdasarkan Peraturan Mendagri Nomor 18 Tahun 2005 Tentang Kode Wilayah dan Data Administrasi Pemerintahan, luas wilayah Kota Sabang (Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya) + 153 km2 dan luas wilayah Kabupaten Aceh Besar (Kecamatan Pulo Aceh) adalah +241 km2.

Batas adminstrasi dan gambaran topografi Kawasan Sabang dapat dilihat pada Gambar 1.1. Sebelah utara dengan Teluk Benggala, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah timur dengan Selat Malaka, dan sebelah barat dengan Samudera Hindia. Sedangkan posisi Sabang dalam lingkup Asean terletak pada kawasan strategis karena berada pada jalur lalu lintas pelayaran (International Shipping Line) dan penerbangan internasional menjadikan posisinya begitu sentral sebagai pintu gerbang arus masuk investasi, barang dan jasa dari dalam dan luar negeri. Didukung juga dengan pembangunan Terusan Kra (Canal Kra) di Thailand yang hampir selesai, telah memposisikan Sabang sebagai Buffer Zone bagi kapal-kapal container atau kapal-kapal kargo lainnya yang melalui Selat Malaka dan Samudera Hindia.

BPKS - Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang - dibentuk berdasarkan SK Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selaku Ketua Dewan Kawasan Sabang) No. 193/194 tanggal 17 Desember 2000. BPKS sebagai suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pusat di Sabang diharapkan dapat menjadi suatu lembaga pengelola yang dapat mengakselerasi pertumbuhan Kawasan Sabang. Sebagai konsekuensinya, BPKS perlu diberikan pelimpahan kewenangan atau sebahagian urusan penyelenggaraan pemerintah pusat agar dapat dilaksanakan di wilayah kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. Akan tetapi dalam pelaksanaannya selama 5 (lima) tahun dirasakan kurang maksimal.

UU No. 11/2006 telah pula menegaskan bahwa untuk memperlancar kegiatan pengembangan Kawasan Sabang, pemerintah melimpahkan kewenangan dibidang perizinan dan kewenangan lain yang diperlukan kepada Dewan Kawasan Sabang yang akan dilaksanakan oleh BPKS untuk mengeluarkan izin usaha, izin investasi, dan izin lain yang diperlukan para pengusaha yang mendirikan dan menjalankan usaha di Kawasan Sabang.